"aku dulu mau masuk hati kamu pake izin, memintanya dengan cara yang polite dan romantis. sekarang pamitan juga aku maunya gitu, aku menghargai kamu dengan sangat, jadi biarkan aku pamitan dengan polite dan romantis. kamu siap siap gih, sekalian aku siapin kameranya"
derai air mata tak usai usai mengalir. meski kutahu betul pertemuan selalu beriringan dengan perpisahan. tapi aku tak pernah siap akan itu.
perpisahan indah tak pernah ada.
"udah siap?"
"ga akan pernah siap"
aku tak pernah paham apa makna dibalik senyummu. perpisahan ini memang aku yang pilih, tapi naluriku belum bisa terima bahwa kau menanggapi perpisahan ini dengan seiklas itu dan cuma aku sendiri yang bergelimang tangis
"I Loved You" bisikmu.
"Kenapa kamu harus pernah datang?"
"Agar kita sama-sama tahu pahitnya melepaskan. Tuhan sudah atur semua ini. Tenang, indah sorot matamu dan cerdasnya pemikiranmu selalu jadi favoritku. semoga hijrah kita berhasil ya"
senyumanmu menyudahi hari itu dan sebuah folder berisi foto menjadi saksi hari dimana kita mengikhrarkan sebuah pamit.
I don’t regret our goodbye. I regret our hello.
No comments:
Post a Comment