"Si Meimei anaknya Koh Acong sekarang pake jilbab!" kemudian semua mata tertuju padaku yang sedang sibuk melahap mie goreng dan udang goreng mayonaise. mata-mata yang tadinya sipit sekali seketika membelalak seakan mau copot menyerangku. aku langsung menciut kiput tak kulanjutkan lagi makan mie goreng yang yahud sekali itu.
"Meimei salah apa, om..tante..?" dalam hatiku jedar jedur. aku ketakutan.
Imlek 2006. Momen dimana seorang anak usia 11 "terpaksa" meyakinkan dirinya sendiri bahwa keputusan yang diambilnya benar, dan meyakinkan dirinya sendiri bahwa Tuhan itu lebih besar kuasanya daripada tatapan nyinyir tante tante, om om serta sepupu yang jumlahnya tak bisa dihitung jari malam itu.
Mari kujelaskan dulu apa yang sebenarnya terjadi
Seperti seharusnya sebagai gadis yang sudah melewati masa akhil baliqnya, aku berjilbab. di tahun 2006, kelas 6 SD. tak ada yang terlalu terasa beda selain gerah dan tidak bisa pakai baju barbie lagi. aku bersekolah di sekolah dasar yang muridnya mayoritas beragama islam. aku bukan satu satuya bocah jilbaban kala itu dan lagi, bisa berjilbab adalah achievement bagiku dan teman teman se geng kala itu.
Sampai akhirnya di satu hari ketika imlek 2006. Tak pernah kuduga, keluarga besarku syok berat dengan keputusan berhijabku.
Jelas, karena kami keluarga keturunan tionghoa dan dari seluruh garis keturunan keluarganya, hanya kami yang beragama islam (papa, mama, aku dan koko kokoku). Keluarga besarku belum "terbiasa" dengan segala hal yang berbau agamis, apalagi sampai "beratribut" keagamaan.
"dipaksa ya?"
"kamu jangan sedih ya.. lepas aja jilbabnya kalo ga suka"
"kamu jelek kalo jilbaban"
"kamu diangkat anak aja ya sam om tante, biar gausah pake jilbab, gausah solat. biar gak ribet kan"
adalah pertanyaan dan pernyataan yang membuatku kaget bukan kepalang. Apa salahnya orang jilbaban? ku cengkram baju mama kencang kencang, aku mulai ketakutan. tapi diantara semua pertanyaan yang mulai mengganggu itu, ada yang paling menyayat hati. bentuknya bukan pertanyaan, bukan suruhan, tapi penolakan.
ya, ada beberapa manusia di keluargaku yang tiba tiba jadi tak lagi kenal denganku, menjauhi dan menatapku dengan tatapan tak pantas. terlalu sakit untuk dirasakan anak umur 11, bapak ibu... percayalah itu menyakitkan.
setelah melihatku "terbully" dengan sikap orang orang sekitarku, entah apa yang mama lakukan yang pasti setelah itu semua orang jadi lebih tenang dan kalem. mama memelukku sambil berkata
"everything's okay, mei. jangan takut kalo kamu tau yang kamu lakuin bener"
"tapi memei bikin mama papa malu" jawabku dengan air mata hampir tumpah
"nak, kamu kebanggaan mama. kamu diturunkan Allah buat menyebarkan kebaikan, harusnya ini jadi motivasi memei untuk buktiin sama semua orang kalo berjilbab itu hal baik dan bikin memei terus berprestasi dan membanggakan keluarga"
begitulah kira kira conversationku dan mama yang setelahnya juga berjilbab, setelah disadarkan olehku secara tidak langsung katanya.
...
Hal-hal yang tadinya kuanggap menyakiti hati tentang jilbab kemudian berubah menjadi hal-hal yang rasanya lucu sekali. perlakuan keluarga yang terkadang menunjukan sikap "aneh" dengan jilbabku masih saja terjadi hingga sekarang walaupun intensitasnya mulai kurang.
tak hanya dari keluarga, kejadian lucu juga terjadi di lingkungan pertemanan.
teman yang mencurigaiku adalah seorang misionaris yang sedang menyamar sampai tak kebagian buku agama islam karena guru yang membagi bukunya berasumsi bahwa nama "Jessie Agrippina Valencia Goenadi" adalah seorang anak non muslim. Tatapan mata aneh yang melihat gadis berjilbab dipanggil meimei
sampai orang orang sok tau setiap registrasi, yang mengiraku seorang non-muslim. Nah kan, untung aku jilbaban! jadi minimal orang orang yang berasumsi nama Jessie adalah seorang non islam kan bisa percaya. bagaimana kalau aku tak berjilbab, bernama Jessie Agrippina Valencia Goenadi, berwajah cina, bisa dipercaya sebagai seorang muslim?
Alhamdulillah, Allah berikanku kesempatan untuk merasakan betapa nikmatnya indah perbedaan dengan aku langsung jadi aktornya.